MENGENANG 21 MEI 1998
(hari ini Sabtu, 21 Mei 2016)
Liputan6.com,
Jakarta - Senin, 18 Mei 1998:
Demonstrasi
mahasiswa terus digelar di hampir seluruh kota besar di Indonesia. Tujuannya
satu: Soeharto turun dari kursi presiden.
Di Jakarta,
ratusan mahasiswa menyambangi Gedung DPR/MPR di Senayan. Mereka diterima Ketua
DPR/MPR Harmoko yang lalu ikut meminta Soeharto mundur. Setelah pertemuan,
puluhan mahasiswa di antaranya memutuskan menginap.
Sekitar 6
kilometer dari sana, sekitar pukul 21.00 WIB, Soeharto bertemu Nurcholish
Madjid. Di rumah Jalan Cendana, Menteng, itu, Soeharto meminta Nurcholish untuk
menceritakan situasi di luar.
Seperti dikutip
dalam "Api Islam Nurcholish Madjid" karya Ahmad Gaus AF, cendekiawan
itu pun tak menyia-nyiakan kesempatan: ia mengisahkan secara rinci aksi-aksi
reformasi yang diwarnai kerusuhan di Jakarta ketika Soeharto sedang di Mesir
pada 11-15 Mei. Menteri Sekretaris Negara Saadillah Mursyid ikut hadir dalam
pertemuan.
Hari ini, kata
pria yang akrab dipanggil Cak Nur itu, elemen-elemen gerakan reformasi menduduki gedung
DPR/MPR. “Karena itu saya datang ke sini tidak dengan pertimbangan bulan atau
hari, pertimbangan per jam juga tidak, malah per menit juga tidak. Saya datang
ke sini dengan pertimbangan detik per detik.”
Soeharto mendengarkan dengan saksama. Lalu ia
bertanya, “Reformasi itu apa, sih, Cak Nur?”
Nurcholish
segera menjawab, “Reformasi itu artinya Pak Harto turun.” Mendengar
itu, Soeharto tertawa sambil mengangkat tangan. Ia menyatakan, “Saya dari dulu
memang ingin turun. Tetapi soalnya adalah, oleh Harmoko dan teman-temannya di
MPR, saya ini diapusi, dibohongi, bahwa rakyat masih membutuhkan saya, malah
didorong-dorong, dipaksa-paksa untuk naik lagi.”
Soeharto
kemudian mengatakan akan segera mengumumkan pengunduran diri.
“Kapan?” tanya Nurcholish.
“Besok,” jawab Soeharto.
“Lho, kok cepat sekali?”
“Lho, katanya tadi hitungannya detik.”
Nurcholish
tertawa karena tidak menduga jawaban seperti itu.
Namun sebelum
mengumumkan pengunduran diri, Soeharto ingin bertemu tokoh-tokoh masyarakat.
Saadillah lalu mendaftar beberapa nama. Semua tokoh Islam. Kemudian ia
memberikannya kepada Soeharto. "Karena Mas Saadillah ini seorang ulama,
yang ada dalam benaknya hanya ulama, yang kemudian diprotes oleh orang
non-Muslim, kok hanya orang Islam yang diundang,” tutur Nurcholish.
Ada sembilan
nama yang disodorkan Saadillah kepada Soeharto untuk diundang: Abdurrahman
Wahid, Ahmad Bagja, Ali Yafie, Anwar Harjono, Emha Ainun Nadjib, Ilyas
Ruchiyat, Ma’ruf Amin, Malik Fadjar, Sutrisno Muchdam, dan Nurcholish sendiri.
Pertemuan dijadwalkan pada Selasa 19 Mei 1998 pukul 09.00 WIB di Istana
Merdeka, Jakarta.
Nurcholish
mengusulkan nama Amien Rais untuk juga diundang, tapi Soeharto bilang, “Ah,
nanti dulu, deh,” ujarnya. Amien Rais menjadi salah satu tokoh penting dalam
gerakan reformasi. Kritiknya terhadap Soeharto lugas dan keras.
Keesokan
harinya, dalam pertemuan sekitar 2,5 jam di Istana Merdeka, para tokoh yang
diundang membeberkan situasi terakhir. Soeharto menyatakan bersedia lengser,
bahkan sudah menyiapkan draf naskah pengunduran diri. Toh, pertemuan
berlangsung cukup alot. Sebab, Soeharto punya ide sendiri, terutama soal
pembentukan Dewan Reformasi. Para tokoh itu tak setuju.
Pada pertemuan
tersebut, Yusril Ihza Mahendra diajak Saadillah untuk hadir. Ia dianggap perlu
dimintai pertimbangan untuk dari kacamata hukum tata negara. Yusril juga yang
lalu sempat mengusulkan beberapa perubahan redaksional pada naskah pengunduran
diri Soeharto.
Di luar Istana,
demo kian masif. Ribuan mahasiswa dan kalangan pro-reformasi lainnya kembali
mendatangi gedung DPR/MPR. Mereka pun menginap di sana. Dua
hari kemudian, Soeharto mengundurkan diri setelah 32 tahun
berkuasa. Indonesia pun memasuki babak baru.
NURCHOLIS MADJID: MENOLAK AMENDEMEN,
MENUTUP PELUANG DEMOKRASI
Liputan6.com,
Jakarta:
Amendemen
Undang-Undang 1945 adalah wujud keinginan pendiri negara dalam memajukan
kehidupan bangsa. Karena itu upaya menolak amendemen bertolak belakang dengan
kehendak pendiri negara sekaligus menutup peluang pengembangan demokrasi
politik. Pendapat tersebut diungkapkan Nurcholis Madjid di Jakarta, Jumat
(19/7).
Apakah konstitusi yang kita sebut UUD
1945 itu sedemikian rupa sehingga sama sekali tak diubah. Pikiran itu sulit dan
bertentangan dengan pikiran Bung Hatta sendiri. Agak aneh juga ya, kata dia.
Padahal, perkembangan negeri kita sudah jauh sekali dan ada keperluan yang
cukup mendesak untuk mengukuhkan pikiran-pikiran mendasar dari para pendiri
negara. Cak Nur mencontohkan konsep modernism state yang demokratis dan
terbuka. Bahkan secara teknis Bung Karno menginginkan sistem kabinet
presidensil bukan parlementer dan itu konsistensinya harus dipenuhi seperti
pemilihan (presiden) langsung, kata Cak Nur.
Sementara itu,
rapat finalisasi Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR masih belum menyepakati
sejumlah pasal krusial. Rapat yang digelar di Jakarta, Jumat malam, cuma
menghasilkan pemetaan dukungan terhadap pasal-pasal tertentu oleh setiap fraksi
di MPR. Rapat tertutup ini mengagendakan finalisasi pasal-pasal atau ayat yang
telah diamendemen serta mensinkronkan hasil lobi pimpinan fraksi MPR. Tapi,
sejauh ini, rapat baru memetakan sikap fraksi terhadap setiap pasal, sebut saja
pasal dua mengenai keberadaan MPR dan pasal enam tentang pemilihan presiden. Wakil Ketua PAH I Slamet Effendi Yusuf
menjelaskan, menurut rencana rapat finalisasi ini akan berlangsung hingga hari
Ahad mendatang. Hasil rapat tersebut akan dibicarakan dalam sidang pleno BP MPR
pada 25 Agustus mendatang. Diharapkan amendemen konstitusi dapat diputuskan
dalam Sidang Tahunan MPR Agustus mendatang.(TNA/Nurul Amin dan Effendi Kassa)
DETIK-DETIK
RUNTUHNYA 32 TAHUN KEKUASAAN SOEHARTO
Diikuti
sejumlah ajudan pribadi dan putri sulungnya, Siti Hardijanti Rukmana, Soeharto melangkah gontai memasuki ruang depan
Istana Merdeka. Tak ada senyum. Wajahnya menunduk dan sebentar menengok ke kiri
dan ke kanan, sebelum akhirnya menuju tiang microphone yang sudah berdiri
tak jauh darinya.
Semua yang
hadir di ruangan itu langsung mengambil posisi, termasuk BJ Habibie yang saat
itu mendampingi Soeharto sebagai Wakil Presiden RI.
Pada Kamis pagi, 21 Mei 1998, sekitar pukul 09.00 WIB, dengan mengenakan baju
safari hitam lengan pendek, peci hitam, dan berkacamata, Presiden ke-2 RI
Soeharto pun mulai membacakan pidato bersejarahnya.
"…Dan setelah
dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan (berdehem)
untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik
Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, pada hari ini, Kamis 21
Mei 1998…." Dengan pidato ini, berakhirlah kekuasaan Presiden Soeharto setelah
32 tahun memimpin Indonesia. Untuk menggantikan sang jenderal besar, Wakil
Presiden BJ Habibie langsung dilantik sebagai Presiden ke-3 pagi itu juga
dan di tempat yang sama.
Usai penyerahan
'tongkat' kepemimpinan, Soeharto bersama ajudan dan putri sulungnya, langsung
keluar meninggalkan Istana Merdeka. Tak ada senyum, wajah sukacita, suasana di
Istana saat itu hanya dipenuhi dengan wajah serius, tegang, tanpa banyak
kata-kata. Di luar Istana, warga yang sudah berkerumun di depan televisi dan
radio untuk mengikuti pidato penting itu langsung bersorak sorai begitu
mendengar pernyataan Soeharto untuk mundur.
Para mahasiswa
yang telah menduduki Gedung DPR/MPR selama beberapa hari, meluapkan kegembiraan
dengan menceburkan diri di kolam air mancur halaman depan gedung DPR,
bergandengan tangan, berpelukan, dan tidak sedikit yang menitikkan air mata
tanda bahagia dengan lengsernya Soeharto.
Di Istana
Merdeka, setelah Soeharto dan BJ Habibie meninggalkan ruang pidato bersama
orang-orang dekat mereka, Panglima ABRI Wiranto langsung mengambil posisi di
depan mik. "Menjunjung
tinggi nilai luhur budaya bangsa, ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan
kehormatan para mantan presiden mandataris MPR, termasuk bapak Soeharto beserta
para keluarganya. Terima kasih," ujar Wiranto singkat memastikan
keselamatan Soeharto dan keluarganya.
Lengsernya Soeharto menandai runtuhnya Orde Baru menuju
era reformasi yang digaung-gaungkan mahasiswa dan rakyat. Meski rakyat dan
mahasiswa masih kecewa lantaran BJ Habibie dianggap sebagai bagian dari Orde
Baru.
21
MEI 1998: SOEHARTO LENGSER,
SEBELUMNYA
TERJADI APA DI ISTANA?
Liputan6.com,
Jakarta - Rabu, 20 Mei 1998 :
Di Gedung
DPR/MPR, Senayan, ribuan mahasiswa berdemonstrasi, menuntut reformasi
dilaksanakan. Termasuk, meminta Soeharto turun dari kursi presiden. Di Istana Merdeka, 9 tokoh diundang datang.
Mereka adalah Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, Nucholish Madjid, Ali
Yafie, Malik Fadjar, Cholil Baidowi, Sumarsono, Achmad Bagdja, dan Ma'aruf
Amin. Yusril Ihza Mahendra juga hadir, meski tak diundang, karena diajak
Nurcholish. Sebagai ahli tata negara, pikir Nurcholish, Yusril niscaya
dibutuhkan. Menjawab desakan mahasiswa, Soeharto bermaksud membentuk Komite
Reformasi, yang hadir berdampingan dengan Kabinet Reformasi. 9 tokoh itu
diundang untuk diminta menjadi anggota Komite Reformasi. Namun, tak ada yang
bersedia.
Kepada
Nurcholish atau Cak Nur, Soeharto meminta cendekiawan Muslim itu menjadi ketua.
Ditampik, lalu ditawar jadi anggota. Cak Nur tetap tak mau. “Jika orang yang moderat seperti Cak Nur
tak lagi mempercayai saya, maka sudah saatnya bagi saya untuk mundur,” kata
Soeharto kepada para undangan seperti dikutip Ahmad Gaus AF dalam Api Islam
Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner.
Di tempat lain,
Rabu 20 Mei pukul 17.00, Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita menyampaikan ke Wakil
Presiden BJ Habibie, via telepon, bahwa dirinya dan 13 menteri lain tak
bersedia duduk di Kabinet Reformasi. Ginandjar Cs saat itu menjabat di Kabinet
Pembangunan VII yang segera habis masa tugasnya. "Apakah
Anda sudah membicarakan dengan Bapak Presiden?" ujar Habibie seperti
dikisahkannya dalam buku Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju
Demokrasi.
Ginandjar
menjawab, "Belum, tapi keputusan tersebut sudah ditandatangani bersama
sebagai hasil rapat kami di Bappenas dan sudah dilaporkan secara tertulis,
kepada Bapak Presiden, melalui Tutut, putri tertua Pak Harto." Tak
lama kemudian, Habibie menemui Soeharto untuk mengotak-atik personel Kabinet
Reformasi yang diumumkan esok hari, 21 Mei. Di sana, Habibie diberitahu,
Soeharto akan memanggil pimpinan DPR/MPR pada 23 Mei. Di pertemuan itu,
Soeharto direncanakan mengajukan pengunduran diri. Habibie menggantikan dan
memimpin Kabinet Reformasi.
Soeharto Tak Mau Bicara dengan Habibie
Pukul 21.45,
Habibie memanggil 4 Menteri Koordinator dan 14 Menteri Kabinet Pembangunan VII
ke rumah dinasnya di Kuningan, Jakarta Selatan. Pada rapat
tersebut, Habibie meminta Ginandjar Cs membatalkan niat mereka mundur dari
kabinet. Sempat terjadi perdebatan. Akhirnya, tulis Habibie, rapat memutuskan,
"Susunan Kabinet Reformasi diterima sebagai kenyataan." Usai
rapat yang berlangsung sekitar 1 jam, Habibie mengontak Menteri Sekretaris
Negara Saadillah Mursjid, meminta bicara dengan Soeharto. Tapi, Soeharto
ternyata menolak. Saadillah hanya bilang Jenderal Besar itu akan mengumumkan
pengunduran diri para 21 Mei pagi, bukan 23 Mei seperti direncanakan.
"Saya
sangat terkejut dan meminta agar segera dapat berbicara dengan Pak Harto.
Permintaan tersebut tidak dapat dikabulkan, dan ajudan Presiden menyatakan akan
diusahakan pertemuan empat mata dengan Pak Harto di Cendana besok pagi sebelum
ke Istana Merdeka," tulis Habibie. Pertemuan itu tak pernah terjadi. Pada 21 Mei pukul 09.00, di Ruang
Credential Istana Merdeka, Soeharto menyatakan mundur.
Dalam pidato pengunduran diri, Soeharto antara lain menyatakan, "Dalam
keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya
menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan
susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi. Dengan
memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk
dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik."
PERTEMUAN
TERAKHIR SOEHARTO DAN SANG 'ANAK' BJ HABIBIE
Liputan6.com, Jakarta :
Pergantian kekuasaan pada Kamis pagi, 21 Mei 1998, pukul 09.05 WIB itu berlangsung
cepat dan singkat. Tak ada senyum, tegur sapa, apalagi canda tawa mengiringi
peristiwa bersejarah yang berlangsung di Istana Merdeka itu.
Dengan wajah serius dan tegang, semua bergegas datang, dan langsung bergegas
pergi setelah Presiden Soeharto menyerahkan tongkat kepemimpinan bangsa Indonesia ke
Wakil Presiden BJ Habibie.
Dalam buku berjudul "Detik-Detik Menentukan" yang ditulis oleh
Habibie, disebutkan bahwa keputusan Pak Harto untuk mundur dari kursi
kekuasaannya tidak disangka-sangka olehnya. Sebab, sebelum kabar tersebut ia dapatkan,
Soeharto telah menyusun nama- nama menteri di Kabinet Reformasi dan menyusun
beberapa agenda pertemuan dengan parlemen. "Menurut rencana pada Kamis, 21 Mei 1998, Presiden dengan
didampingi Wakil Presiden akan mengumumkan susunan kabinet, dan Jumatnya para
anggota kabinet akan dilantik oleh Presiden Soeharto," ucap Habibie. Namun,
rencana itu hanya tinggal rencana. Pada Kamis pagi, 21 Mei 1998, Soeharto
mengatakan mundur dan langsung menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya. Pagi itu
juga dan di tempat yang sama, Habibie dilantik sebagai Presiden ke-3 RI,
menggantikan Soeharto.
Habibie mengaku
tidak mengetahui alasan Soeharto mundur dari jabatannya. Bahkan penjelasan juga
tidak diterima jelang pengunduran diri dilakukan. Kabar dia akan
dilantik sebagai presiden justru diperoleh dari Menteri Sekretaris Negara
Saadila Mursyid yang mengatakan, Soeharto akan berhenti dari jabatan presiden
pada pukul 10.00 WIB. Sesuai UU, Pak Harto akan menyerahkan tanggung jawab
kepada Wakil Presiden di Istana Kepresidenan.
Mendengar hal itu, Habibie mengaku
kaget. Ia pun ingin lebih dulu bertemu Soeharto, namun permintaan tersebut
ditolak. "Saya sangat terkejut, dan meminta agar dapat bicara dengan Pak
Harto. Tapi, permintaan itu tidak dapat dikabulkan," ucap Habibie. Hingga Habibie naik 'tahta' sebagai Presiden, Soeharto masih enggan
berjumpa dengan Habibie. Bahkan hingga akhir hayatnya, Soeharto yang sudah
menganggap Habibie seperti anak sendiri itu tidak sekali pun bertemu Mr Crack -
julukan bagi Habibie.
Dalam buku "Pak Harto The Untold
Stories", mantan Kepala Protokol Istana zaman Soeharto, Maftuh Basyuni,
membeberkan kisah tersebut. Maftuh kala itu menjadi penyampai pesan dari
Habibie di Istana ke Soeharto di Cendana, Jakarta Pusat.
"Sejak Pak
Harto berhenti, beberapa kali saya datang ke Cendana untuk menyampaikan
permintaan BJ Habibie yang ingin bertemu dengan Pak Harto," ucap mantan
Menteri Agama di era Presiden SBY itu. Saat ulang tahun Soeharto ke-77 tepatnya 8 Juni 1998, Habibie yang
datang dengan membawa bunga dan kartu ucapan selamat, lagi-lagi ditolak
Soeharto. Sang Jenderal Besar kala itu menitipkan sebuah pesan kepadanya. "Basyuni (sapaan Maftuh dari Soeharto),
sampaikan ke Pak Habibie, dalam situasi seperti ini tidak elok Pak Habibie
bertemu dengan Pak Harto, nanti ketularan dihujat orang banyak. Biarlah Pak
Harto sendiri yang menghadapi hujatan-hujatan itu, yang lain siapa bekerja
sebaik-baiknya untuk bangsa dan negara," pesan Soeharto kepada Maftuh saat
itu.
Dalam buku
"Detik-Detik Menentukan", pertemuan terakhir Soeharto dan Habibie
terjadi saat Soeharto meminta Habibie menyelesaikan persoalan para menteri yang
meminta mundur dari kabinet pada 18 Mei 2016. "Saat itu
Pak Harto meminta agar saya menyelesaikan masalah Ginandjar (Menko Ekuin) dengan
baik. Saya mengatakan, akan saya usahakan," ucap Habibie. "Dan
Pak Harto mengatakan pada saya, laksanakan tugasmu dan waktu tidak banyak
lagi," ujar Habibie meniru ucapan Soeharto kala itu. Sementara,
menurut Maftuh, pada 21 Mei menjadi hari terakhir Soeharto melihat BJ
Habibie. Usai Habibie disumpah menggantikan Soeharto, Habibie mendapat ucapan
dari banyak orang di Istana. Pada saat itulah, Soeharto meninggalkan acara dan
memilih pulang. "Pak Harto di mana?" tanya Habibie kepada Maftuh.
"Sudah pulang ke Cendana," jawab Maftuh. Dan, itulah momen terakhir
Habibie bertemu Soeharto.
CERITA
SOEHARTO REBUT PULPEN YUSRIL
JELANG
PENGUNDURAN DIRI
Liputan6.com, Jakarta :
Yusril Ihza Mahendra menjadi saksi
Soeharto lengser dari jabatannya sebagai Presiden RI. Saat itu, Yusril-lah yang
menyusun teks pengunduran diri Soeharto. Yusril dikenal sebagai penulis teks pidato Presiden Soeharto. Soal
menulis teks pidato, Yusril mengaku diajar oleh Profesor Usman Ralibi, seorang
pakar komunikasi politik yang mengajar mata kuliah propaganda politik. Seperti
ditayangkan Liputan
6 Petang SCTV dan dikutip Liputan6.com, Rabu (27/1/2016), selama bekerja
sebagai penulis teks pidato Presiden Soeharto, Yusril sudah menulis sekitar 120
teks pidato, termasuk pidato kepresidenan. Pidato yang paling berkesan di antara semua yang pernah Yusril
tulis adalah pidato terakhir Soeharto saat mengundurkan diri dari jabatan
Presiden RI.
Yusril pun
menceritakan detik-detik jatuhnya Soeharto.
Pada 20 Mei 1998, Yusril menginap di
Cendana, kediaman Soeharto karena Soeharto membutuhkannya untuk dimintai
pendapat. Malam itu
ketegangan menyelimuti rumah di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Soeharto
gelisah pada malam menjelang kejatuhannya. "Ya sudah, kalau begitu saya
mundur saja besok. Kamu urus bagaimana cara saya berhenti," kata Yusril
menirukan ucapan Soeharto kepadanya ketika itu.
Yusril dan
rekan-rekannya pun rapat malam itu juga untuk membuat skenario pengunduran
diri. Yusril sendiri yang menulis naskah pidato pengunduran diri Soeharto. Soeharto
memilih kata 'berhenti' ketimbang 'mengundurkan diri'. Jika Soeharto
menyampaikan 'mundur' sebagai presiden kepada MPR, lalu MPR menolak pengunduran
dirinya, situasi akan jadi rumit. "Kondisi selanjutnya tak terprediksi," ujar Yusril.
Maka demi
keamanan, termasuk dari sisi hukum, Soeharto menyatakan secara sepihak 'berhenti'
dari jabatan sebagai Presiden RI. Namun Soeharto merasa ada yang kurang dengan teks pidato yang
disusun Yusril dan lainnya. Saat berangkat ke Istana dari Cendana keesokan
harinya pada 21 Mei 1998, Soeharto meminta Yusril menambahkan kalimat di naskah
pidatonya dengan 'kabinet dinyatakan demisioner'. Artinya,
kabinet tak lagi punya kekuasaan, tapi tetap bekerja sampai terbentuknya
kabinet baru di bawah presiden yang baru. Namun permintaan Soeharto itu tak ditanggapi Yusril. Yusril ragu.
Sebab menurut Yusril, BJ Habibie yang saat itu menjabat sebagai wakil presiden
bisa menggantikan Soeharto meneruskan memimpin kabinet. Tapi
Soeharto berkeras. "Kalau tak mau tulis 'demisioner', sini saya sendiri
yang tulis," kata Yusril mengulang ucapan Soeharto kala itu. Soeharto kemudian merebut pulpen dari tangan Yusril dan
menulis tambahan kalimat di naskah pidatonya, baru bergegas pergi ke Istana.
KISAH
YUSRIL DI CENDANA, TULIS PIDATO
PENGUNDURAN
DIRI SOEHARTO
Liputan6.com,
Jakarta :
Setelah
memerintah selama 32 tahun, Soeharto akhirnya menyatakan mundur dari
jabatannya sebagai presiden RI. Kejadian itu berlangsung pada 21 Mei
1998. Di balik pengunduran diri itu, tersimpan kisah menegangkan antara Yusril Ihza Mahendra dengan Soeharto. Yusril
menjadi saksi lengsernya Soeharto karena dirinya yang menyusun teks pengunduran
diri sang presiden.
Soal menulis
teks pidato, Yusril mengaku diajarkan Profesor Usman Ralibi, seorang
pakar komunikasi politik yang mengajar mata kuliah propaganda politik.
Dikutip dari
Liputan 6
Petang SCTV, Sabtu (21/5/2016), Yusril pun menceritakan detik-detik
jatuhnya Soeharto. Pada 20 Mei 1998, Yusril menginap di Cendana, kediaman
Soeharto karena Bapak Pembangunan itu membutuhkan pendapatnya.
Malam itu
ketegangan menyelimuti rumah di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Soeharto
gelisah pada malam menjelang kejatuhannya.
"Ya sudah,
kalau begitu saya mundur saja besok. Kamu urus bagaimana cara saya
berhenti," kata Yusril menirukan ucapan Soeharto kepadanya ketika itu. Yusril
dan rekan-rekannya pun menggelar rapat malam itu juga untuk membuat skenario
pengunduran diri Soeharto. Yusril sendiri yang menulis naskah pidato
pengunduran diri Soeharto.
Soeharto
memilih kata "berhenti" ketimbang "mengundurkan diri". Jika
Soeharto menyampaikan "mundur" sebagai presiden kepada MPR, lalu MPR
menolak pengunduran dirinya, situasi akan jadi rumit.
"Kondisi
selanjutnya tak terprediksi," ujar Yusril
dikutip dari Liputan6.com,
oleh ro5m4d1