SISWAKU, ANAKKU, SEJAWATKU
Hidayah Susatri*)
T
|
iga tahun pertama sejak menjadi guru tepatnya tahun
pelajaran 2001/2002 saya memiliki seorang siswi, sebut saja Maya. Dia termasuk
anak paling istimewa bagi saya selama mengajar di SMP Negeri 1 Ampelgading,
yang hingga sekarang sudah hampir 16 tahun. Maya adalah anak desa/gunung dengan
kondisi keluarga buruh tani pas-pasan. Ia anak ke-9 dari 10 bersaudara. Tujuh
orang kakaknya hanya berhasil menempuh pendidikan hingga jenjang SMP/MTs, dan
satu orang kakaknya yang nomor 8 sampai jenjang SMA. Prestasi akademik Maya
selama di SMP sangat membanggakan, dia selalu ranking 1 pararel selama 3 tahun.
Nilai Matematika selalu bagus, baik ulangan harian, semester bahkan Ujian
Nasional. Selama 3 tahun kebetulan selalu saya yang menjadi guru matematikanya.
Saya ingat betul saat itu selalu ada ulangan umum bersama se-Kabupaten Malang.
Untuk memotivasi siswa, sebagai guru aku selalu menjanjikan semacam hadiah bagi
siswa yang dapat memperoleh nilai sempurna (100). Hadiah berupa benda yang
cocok dengan usia anak SMP atau kadang berupa benda yang sangat dibutuhkan
siswa mulai tas, sepatu dll. Hampir setiap kesempatan itu aku berikan, ternyata
Maya-lah yang selalu memperoleh hadiah itu. Sampai hasil Ujian Nasional pun dia
tetap nomor 1 dengan nilai Matematika 10.
Begitu kelulusan tiba, Maya saya tanya mau
melanjutkan ke mana, ternyata dia tidak tahu mau sekolah di mana. Kalau
menuruti kemauan dan kemampuan orang tuanya, Maya diharapkan sekolah SMA swasta
yang tidak jauh dari rumahnya agar tidak menambah beban tambahan seperti biaya
kos, transportasi dan uang saku. Di samping itu ia masih dapat membantu orang
tuanya bekerja di rumah. Mendengar jawaban Maya dalam hati saya sangat
tersentuh dan tentu saja menyayangkan kenapa anak sepotensi dia harus sekolah
seadanya. Setelah berunding dengan suami (saat itu aku belum memiliki anak),
saya dekati Maya dan menawarinya untuk tinggal di rumah kami dan bersekolah di
SMA Negeri 1 Turen yang kebetulan dekat dengan rumah. Biasanya siswa saya yang
melanjutkan ke sekolah itu rata-rata harus kos. Mungkin itu yang memberatkan
orang tuanya karena pada saat itu masih ada kakak dan adiknya yang juga masih
sekolah. Ternyata Maya bersedia dan orang tuanya mengijinkan, jadilah dia
tinggal di rumah kami dan menjadi anak kami selama tiga tahun.
Prestasi selama di SMA juga masih sama hebatnya
seperti saat dia di SMP sampai saat kelulusan tiba. Saya menyarankan agar dia
mencoba masuk STAN dengan harapan ringan saat kuliah dan begitu lulus ada
jaminan. Ternyata dia tidak mau, katanya, ” Saya ingin jadi guru matematika
seperti Ibu”. Menurutnya jadi guru itu sangat mulia dan pekerjaan yang pas bagi
seorang ibu. Dan harapanya begitu lulus nanti, bisa mengajar di daerah sekitar
tempat tinggal orang tuanya (bila mungkin, di SMP-nya dulu) agar bisa merawat
orang tuanya yang sudah beranjak tua. Cita-cita dan harapan yang sangat mulia
dan saya-pun mendukungnya. Pertama kali dia sempat ragu, lagi-lagi karena soal
biaya. Akhirnya saya yakinkan dia untuk masuk dan akan saya bantu pembiayaan
karena jumlahnya memang lumayan besar. Selanjutnya saya beri gambaran bahwa di
Perguruan Tinggi banyak sekali beasiswa (selama SMA dia juga mendapat beasiswa)
dan kalau bisa kreatif sebagai mahasiswa pasti bisa mengatasi biaya
sehari-hari. Akhirnya dia masuk Universitas Negeri Malang (UM) dengan mengambil
jurusan pendidikan Matematika. Selama menjadi mahasiswa dia selalu mendapatkan
beasiswa, di samping itu sehari-hari dia menjadi guru privat anak SMP dan SMA
yang cukup untuk biaya kuliah dan kebutuhan sehari-hari. Hal ini persis yang
saya alami dan lakukan saat kuliah S1 di Surabaya dulu.
Setelah 4 tahun persis, Maya lulus kuliah dan
langsung mendaftar program SM3T dan diterima. Satu tahun harus dijalani
mengajar di daerah tertinggal di Sulawesi. Pertama dia ragu untuk berangkat,
tetapi saya yakinkan bahwa setahun itu tidak lama, daripada dia mengajar di SMK
Swasta yang saat itu dia jalani, diapun akhirnya berangkat. Selama di Sulawesi
pun masih selalu berhubungan dengan saya baik melalui seluler maupun Facebook.
Segala suka duka jadi guru di tempat tertinggal selalu dia ceritakan ke saya
layaknya anak dengan ibunya. Tidak terasa setahun pun berlalu, sebagai
kelanjutan program itu dia harus menempuh program PPG (Pendidikan Profesi Guru)
selama setahun di Universitas Negeri Malang, saat saya menulis ini Maya sedang
menyelesaikan tugas akhinya dalam program PPG yaitu mengajar di SMA Negeri 1
Malang. Paling tidak begitu dia lulus (mudah-mudahan sebentar lagi) tunjangan
sertifikasi sudah berhak dia peroleh sebagi lulusan PPG.
Sebagai guru sekaligus ibunya saya berharap selepas
lulus ada jaminan untuk diangkat menjadi CPNS sesuai janji pemerintah. Saat ini
Maya juga saya minta membantu mengajar selama 2 hari di SMP Negeri 1
Ampelgading karena memang sekolah saya masih kekurangan guru dengan adanya
Implementasi Kurikulum 2013. Jadilah dia yang dulu siswa, jadi anak dan
sekarang jadi teman sejawat. Saya bersyukur paling tidak saya menjadi
perantara, di mana Allah SWT memberikan jalan bagi Maya untuk meraih apa yang
dicita-citakannya. Akan lebih berbahagia lagi jika satu lagi do’a saya
dikabulkan, yaitu semoga dia bisa menjadi guru PNS yang ditempatkan di SMP
Negeri 1 Ampelgading ini. Amin....
*) Guru SMP Negeri 1 Ampelgading Malang
http://www.kompasiana.com/hidayahsusatri
_________________________________________
dikutip dari : 100 kisah inspiratif Guru Indonesia;
Guru Juga manusia, DOL-2015 P4TK Matematika
dikutip dari : 100 kisah inspiratif Guru Indonesia;
Guru Juga manusia, DOL-2015 P4TK Matematika