G
Selamat datang di : mgmp-ku.blogspot.co.id || BLOGNYA MGMP MATEMATIKA SMP KABUPATEN PEMALANG ||

Sabtu, 21 Mei 2016

21 Mei 1998



MENGENANG 21 MEI 1998
(hari ini Sabtu, 21 Mei 2016)

Liputan6.com, Jakarta - Senin, 18 Mei 1998:
Demonstrasi mahasiswa terus digelar di hampir seluruh kota besar di Indonesia. Tujuannya satu: Soeharto turun dari kursi presiden.
Di Jakarta, ratusan mahasiswa menyambangi Gedung DPR/MPR di Senayan. Mereka diterima Ketua DPR/MPR Harmoko yang lalu ikut meminta Soeharto mundur. Setelah pertemuan, puluhan mahasiswa di antaranya memutuskan menginap.
Sekitar 6 kilometer dari sana, sekitar pukul 21.00 WIB, Soeharto bertemu Nurcholish Madjid. Di rumah Jalan Cendana, Menteng, itu, Soeharto meminta Nurcholish untuk menceritakan situasi di luar.
Seperti dikutip dalam "Api Islam Nurcholish Madjid" karya Ahmad Gaus AF, cendekiawan itu pun tak menyia-nyiakan kesempatan: ia mengisahkan secara rinci aksi-aksi reformasi yang diwarnai kerusuhan di Jakarta ketika Soeharto sedang di Mesir pada 11-15 Mei. Menteri Sekretaris Negara Saadillah Mursyid ikut hadir dalam pertemuan.
Hari ini, kata pria yang akrab dipanggil Cak Nur itu, elemen-elemen gerakan reformasi menduduki gedung DPR/MPR. “Karena itu saya datang ke sini tidak dengan pertimbangan bulan atau hari, pertimbangan per jam juga tidak, malah per menit juga tidak. Saya datang ke sini dengan pertimbangan detik per detik.”
Soeharto mendengarkan dengan saksama. Lalu ia bertanya, “Reformasi itu apa, sih, Cak Nur?”
Nurcholish segera menjawab, “Reformasi itu artinya Pak Harto turun. Mendengar itu, Soeharto tertawa sambil mengangkat tangan. Ia menyatakan, “Saya dari dulu memang ingin turun. Tetapi soalnya adalah, oleh Harmoko dan teman-temannya di MPR, saya ini diapusi, dibohongi, bahwa rakyat masih membutuhkan saya, malah didorong-dorong, dipaksa-paksa untuk naik lagi.”
Soeharto kemudian mengatakan akan segera mengumumkan pengunduran diri.
Kapan?” tanya Nurcholish.
Besok,” jawab Soeharto.
“Lho, kok cepat sekali?”
“Lho, katanya tadi hitungannya detik.”
Nurcholish tertawa karena tidak menduga jawaban seperti itu.
Namun sebelum mengumumkan pengunduran diri, Soeharto ingin bertemu tokoh-tokoh masyarakat. Saadillah lalu mendaftar beberapa nama. Semua tokoh Islam. Kemudian ia memberikannya kepada Soeharto. "Karena Mas Saadillah ini seorang ulama, yang ada dalam benaknya hanya ulama, yang kemudian diprotes oleh orang non-Muslim, kok hanya orang Islam yang diundang,” tutur Nurcholish.
Ada sembilan nama yang disodorkan Saadillah kepada Soeharto untuk diundang: Abdurrahman Wahid, Ahmad Bagja, Ali Yafie, Anwar Harjono, Emha Ainun Nadjib, Ilyas Ruchiyat, Ma’ruf Amin, Malik Fadjar, Sutrisno Muchdam, dan Nurcholish sendiri. Pertemuan dijadwalkan pada Selasa 19 Mei 1998 pukul 09.00 WIB di Istana Merdeka, Jakarta.
Nurcholish mengusulkan nama Amien Rais untuk juga diundang, tapi Soeharto bilang, “Ah, nanti dulu, deh,” ujarnya. Amien Rais menjadi salah satu tokoh penting dalam gerakan reformasi. Kritiknya terhadap Soeharto lugas dan keras.
Keesokan harinya, dalam pertemuan sekitar 2,5 jam di Istana Merdeka, para tokoh yang diundang membeberkan situasi terakhir. Soeharto menyatakan bersedia lengser, bahkan sudah menyiapkan draf naskah pengunduran diri. Toh, pertemuan berlangsung cukup alot. Sebab, Soeharto punya ide sendiri, terutama soal pembentukan Dewan Reformasi. Para tokoh itu tak setuju.
Pada pertemuan tersebut, Yusril Ihza Mahendra diajak Saadillah untuk hadir. Ia dianggap perlu dimintai pertimbangan untuk dari kacamata hukum tata negara. Yusril juga yang lalu sempat mengusulkan beberapa perubahan redaksional pada naskah pengunduran diri Soeharto.
Di luar Istana, demo kian masif. Ribuan mahasiswa dan kalangan pro-reformasi lainnya kembali mendatangi gedung DPR/MPR. Mereka pun menginap di sana. Dua hari kemudian, Soeharto mengundurkan diri setelah 32 tahun berkuasa. Indonesia pun memasuki babak baru.

NURCHOLIS MADJID: MENOLAK AMENDEMEN, 
MENUTUP PELUANG DEMOKRASI

Liputan6.com, Jakarta:
Amendemen Undang-Undang 1945 adalah wujud keinginan pendiri negara dalam memajukan kehidupan bangsa. Karena itu upaya menolak amendemen bertolak belakang dengan kehendak pendiri negara sekaligus menutup peluang pengembangan demokrasi politik. Pendapat tersebut diungkapkan Nurcholis Madjid di Jakarta, Jumat (19/7).
Apakah konstitusi yang kita sebut UUD 1945 itu sedemikian rupa sehingga sama sekali tak diubah. Pikiran itu sulit dan bertentangan dengan pikiran Bung Hatta sendiri. Agak aneh juga ya, kata dia. Padahal, perkembangan negeri kita sudah jauh sekali dan ada keperluan yang cukup mendesak untuk mengukuhkan pikiran-pikiran mendasar dari para pendiri negara. Cak Nur mencontohkan konsep modernism state yang demokratis dan terbuka. Bahkan secara teknis Bung Karno menginginkan sistem kabinet presidensil bukan parlementer dan itu konsistensinya harus dipenuhi seperti pemilihan (presiden) langsung, kata Cak Nur.
Sementara itu, rapat finalisasi Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR masih belum menyepakati sejumlah pasal krusial. Rapat yang digelar di Jakarta, Jumat malam, cuma menghasilkan pemetaan dukungan terhadap pasal-pasal tertentu oleh setiap fraksi di MPR. Rapat tertutup ini mengagendakan finalisasi pasal-pasal atau ayat yang telah diamendemen serta mensinkronkan hasil lobi pimpinan fraksi MPR. Tapi, sejauh ini, rapat baru memetakan sikap fraksi terhadap setiap pasal, sebut saja pasal dua mengenai keberadaan MPR dan pasal enam tentang pemilihan presiden.  Wakil Ketua PAH I Slamet Effendi Yusuf menjelaskan, menurut rencana rapat finalisasi ini akan berlangsung hingga hari Ahad mendatang. Hasil rapat tersebut akan dibicarakan dalam sidang pleno BP MPR pada 25 Agustus mendatang. Diharapkan amendemen konstitusi dapat diputuskan dalam Sidang Tahunan MPR Agustus mendatang.(TNA/Nurul Amin dan Effendi Kassa)

DETIK-DETIK RUNTUHNYA 32 TAHUN KEKUASAAN SOEHARTO
Liputan6.com, Jakarta :
Diikuti sejumlah ajudan pribadi dan putri sulungnya, Siti Hardijanti Rukmana, Soeharto melangkah gontai memasuki ruang depan Istana Merdeka. Tak ada senyum. Wajahnya menunduk dan sebentar menengok ke kiri dan ke kanan, sebelum akhirnya menuju tiang microphone yang sudah berdiri tak jauh darinya.
Semua yang hadir di ruangan itu langsung mengambil posisi, termasuk BJ Habibie yang saat itu mendampingi Soeharto sebagai Wakil Presiden RI.
Pada Kamis pagi, 21 Mei 1998, sekitar pukul 09.00 WIB, dengan mengenakan baju safari hitam lengan pendek, peci hitam, dan berkacamata, Presiden ke-2 RI Soeharto pun mulai membacakan pidato bersejarahnya.
"…Dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan (berdehem) untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998…." Dengan pidato ini, berakhirlah kekuasaan Presiden Soeharto setelah 32 tahun memimpin Indonesia. Untuk menggantikan sang jenderal besar, Wakil Presiden BJ Habibie langsung dilantik sebagai Presiden ke-3 pagi itu juga dan di tempat yang sama.
Usai penyerahan 'tongkat' kepemimpinan, Soeharto bersama ajudan dan putri sulungnya, langsung keluar meninggalkan Istana Merdeka. Tak ada senyum, wajah sukacita, suasana di Istana saat itu hanya dipenuhi dengan wajah serius, tegang, tanpa banyak kata-kata. Di luar Istana, warga yang sudah berkerumun di depan televisi dan radio untuk mengikuti pidato penting itu langsung bersorak sorai begitu mendengar pernyataan Soeharto untuk mundur.  
Para mahasiswa yang telah menduduki Gedung DPR/MPR selama beberapa hari, meluapkan kegembiraan dengan menceburkan diri di kolam air mancur halaman depan gedung DPR, bergandengan tangan, berpelukan, dan tidak sedikit yang menitikkan air mata tanda bahagia dengan lengsernya Soeharto.
Di Istana Merdeka, setelah Soeharto dan BJ Habibie meninggalkan ruang pidato bersama orang-orang dekat mereka, Panglima ABRI Wiranto langsung mengambil posisi di depan mik.  "Menjunjung tinggi nilai luhur budaya bangsa, ABRI akan tetap menjaga  keselamatan dan kehormatan para mantan presiden mandataris MPR, termasuk bapak Soeharto beserta para keluarganya. Terima kasih," ujar Wiranto singkat memastikan keselamatan Soeharto dan keluarganya. 
Lengsernya Soeharto menandai runtuhnya Orde Baru menuju era reformasi yang digaung-gaungkan mahasiswa dan rakyat. Meski rakyat dan mahasiswa masih kecewa lantaran BJ Habibie dianggap sebagai bagian dari Orde Baru.



21 MEI 1998: SOEHARTO LENGSER,
SEBELUMNYA TERJADI APA DI ISTANA?
Liputan6.com, Jakarta - Rabu, 20 Mei 1998 :
Di Gedung DPR/MPR, Senayan, ribuan mahasiswa berdemonstrasi, menuntut reformasi dilaksanakan. Termasuk, meminta Soeharto turun dari kursi presiden.  Di Istana Merdeka, 9 tokoh diundang datang. Mereka adalah Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, Nucholish Madjid, Ali Yafie, Malik Fadjar, Cholil Baidowi, Sumarsono, Achmad Bagdja, dan Ma'aruf Amin. Yusril Ihza Mahendra juga hadir, meski tak diundang, karena diajak Nurcholish. Sebagai ahli tata negara, pikir Nurcholish, Yusril niscaya dibutuhkan. Menjawab desakan mahasiswa, Soeharto bermaksud membentuk Komite Reformasi, yang hadir berdampingan dengan Kabinet Reformasi. 9 tokoh itu diundang untuk diminta menjadi anggota Komite Reformasi. Namun, tak ada yang bersedia.
Kepada Nurcholish atau Cak Nur, Soeharto meminta cendekiawan Muslim itu menjadi ketua. Ditampik, lalu ditawar jadi anggota. Cak Nur tetap tak mau.  “Jika orang yang  moderat seperti Cak Nur tak lagi mempercayai saya, maka sudah saatnya bagi saya untuk mundur,” kata Soeharto kepada para undangan seperti dikutip Ahmad Gaus AF dalam Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner.
Di tempat lain, Rabu 20 Mei pukul 17.00, Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita menyampaikan ke Wakil Presiden BJ Habibie, via telepon, bahwa dirinya dan 13 menteri lain tak bersedia duduk di Kabinet Reformasi. Ginandjar Cs saat itu menjabat di Kabinet Pembangunan VII yang segera habis masa tugasnya. "Apakah Anda sudah membicarakan dengan Bapak Presiden?" ujar Habibie seperti dikisahkannya dalam buku Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi.
Ginandjar menjawab, "Belum, tapi keputusan tersebut sudah ditandatangani bersama sebagai hasil rapat kami di Bappenas dan sudah dilaporkan secara tertulis, kepada Bapak Presiden, melalui Tutut, putri tertua Pak Harto." Tak lama kemudian, Habibie menemui Soeharto untuk mengotak-atik personel Kabinet Reformasi yang diumumkan esok hari, 21 Mei. Di sana, Habibie diberitahu, Soeharto akan memanggil pimpinan DPR/MPR pada 23 Mei. Di pertemuan itu, Soeharto direncanakan mengajukan pengunduran diri. Habibie menggantikan dan memimpin Kabinet Reformasi.
Soeharto Tak Mau Bicara dengan Habibie
Pukul 21.45, Habibie memanggil 4 Menteri Koordinator dan 14 Menteri Kabinet Pembangunan VII ke rumah dinasnya di Kuningan, Jakarta Selatan. Pada rapat tersebut, Habibie meminta Ginandjar Cs membatalkan niat mereka mundur dari kabinet. Sempat terjadi perdebatan. Akhirnya, tulis Habibie, rapat memutuskan, "Susunan Kabinet Reformasi diterima sebagai kenyataan." Usai rapat yang berlangsung sekitar 1 jam, Habibie mengontak Menteri Sekretaris Negara Saadillah Mursjid, meminta bicara dengan Soeharto. Tapi, Soeharto ternyata menolak. Saadillah hanya bilang Jenderal Besar itu akan mengumumkan pengunduran diri para 21 Mei pagi, bukan 23 Mei seperti direncanakan.
"Saya sangat terkejut dan meminta agar segera dapat berbicara dengan Pak Harto. Permintaan tersebut tidak dapat dikabulkan, dan ajudan Presiden menyatakan akan diusahakan pertemuan empat mata dengan Pak Harto di Cendana besok pagi sebelum ke Istana Merdeka," tulis Habibie. Pertemuan itu tak pernah terjadi. Pada 21 Mei pukul 09.00, di Ruang Credential Istana Merdeka, Soeharto menyatakan mundur.
Dalam pidato pengunduran diri, Soeharto antara lain menyatakan, "Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi. Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik."

 

PERTEMUAN TERAKHIR SOEHARTO DAN SANG 'ANAK' BJ HABIBIE



Liputan6.com, Jakarta :
Pergantian kekuasaan pada Kamis pagi, 21 Mei 1998, pukul 09.05 WIB itu berlangsung cepat dan singkat. Tak ada senyum, tegur sapa, apalagi canda tawa mengiringi peristiwa bersejarah yang berlangsung di Istana Merdeka itu.
Dengan wajah serius dan tegang, semua bergegas datang, dan langsung bergegas pergi setelah Presiden Soeharto menyerahkan tongkat kepemimpinan bangsa Indonesia ke Wakil Presiden BJ Habibie.
Dalam buku berjudul "Detik-Detik Menentukan" yang ditulis oleh Habibie, disebutkan bahwa keputusan Pak Harto untuk mundur dari kursi kekuasaannya tidak disangka-sangka olehnya. Sebab, sebelum kabar tersebut ia dapatkan, Soeharto telah menyusun nama- nama menteri di Kabinet Reformasi dan menyusun beberapa agenda pertemuan dengan parlemen. "Menurut rencana pada Kamis, 21 Mei 1998, Presiden dengan didampingi Wakil Presiden akan mengumumkan susunan kabinet, dan Jumatnya para anggota kabinet akan dilantik oleh Presiden Soeharto," ucap Habibie. Namun, rencana itu hanya tinggal rencana. Pada Kamis pagi, 21 Mei 1998, Soeharto mengatakan mundur dan langsung menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya. Pagi itu juga dan di tempat yang sama, Habibie dilantik sebagai Presiden ke-3 RI, menggantikan Soeharto.
Habibie mengaku tidak mengetahui alasan Soeharto mundur dari jabatannya. Bahkan penjelasan juga tidak diterima jelang pengunduran diri dilakukan. Kabar dia akan dilantik sebagai presiden justru diperoleh dari Menteri Sekretaris Negara Saadila Mursyid yang mengatakan, Soeharto akan berhenti dari jabatan presiden pada pukul 10.00 WIB. Sesuai UU, Pak Harto akan menyerahkan tanggung jawab kepada Wakil Presiden di Istana Kepresidenan.
Mendengar hal itu, Habibie mengaku kaget. Ia pun ingin lebih dulu bertemu Soeharto, namun permintaan tersebut ditolak. "Saya sangat terkejut, dan meminta agar dapat bicara dengan Pak Harto. Tapi, permintaan itu tidak dapat dikabulkan," ucap Habibie. Hingga Habibie naik 'tahta' sebagai Presiden, Soeharto masih enggan berjumpa dengan Habibie. Bahkan hingga akhir hayatnya, Soeharto yang sudah menganggap Habibie seperti anak sendiri itu tidak sekali pun bertemu Mr Crack - julukan bagi Habibie.




Dalam buku "Pak Harto The Untold Stories", mantan Kepala Protokol Istana zaman Soeharto, Maftuh Basyuni, membeberkan kisah tersebut. Maftuh kala itu menjadi penyampai pesan dari Habibie di Istana ke Soeharto di Cendana, Jakarta Pusat.

"Sejak Pak Harto berhenti, beberapa kali saya datang ke Cendana untuk menyampaikan permintaan BJ Habibie yang ingin bertemu dengan Pak Harto," ucap mantan Menteri Agama di era Presiden SBY itu. Saat ulang tahun Soeharto ke-77 tepatnya 8 Juni 1998, Habibie yang datang dengan membawa bunga dan kartu ucapan selamat, lagi-lagi ditolak Soeharto. Sang Jenderal Besar kala itu menitipkan sebuah pesan kepadanya.  "Basyuni (sapaan Maftuh dari Soeharto), sampaikan ke Pak Habibie, dalam situasi seperti ini tidak elok Pak Habibie bertemu dengan Pak Harto, nanti ketularan dihujat orang banyak. Biarlah Pak Harto sendiri yang menghadapi hujatan-hujatan itu, yang lain siapa bekerja sebaik-baiknya untuk bangsa dan negara," pesan Soeharto kepada Maftuh saat itu.
Dalam buku "Detik-Detik Menentukan", pertemuan terakhir Soeharto dan Habibie terjadi saat Soeharto meminta Habibie menyelesaikan persoalan para menteri yang meminta mundur dari kabinet pada 18 Mei 2016. "Saat itu Pak Harto meminta agar saya menyelesaikan masalah Ginandjar (Menko Ekuin) dengan baik. Saya mengatakan, akan saya usahakan," ucap Habibie. "Dan Pak Harto mengatakan pada saya, laksanakan tugasmu dan waktu tidak banyak lagi," ujar Habibie meniru ucapan Soeharto kala itu.  Sementara, menurut Maftuh, pada 21 Mei menjadi  hari terakhir Soeharto melihat BJ Habibie. Usai Habibie disumpah menggantikan Soeharto, Habibie mendapat ucapan dari banyak orang di Istana. Pada saat itulah, Soeharto meninggalkan acara dan memilih pulang. "Pak Harto di mana?" tanya Habibie kepada Maftuh. "Sudah pulang ke Cendana," jawab Maftuh. Dan, itulah momen terakhir Habibie bertemu Soeharto.

CERITA SOEHARTO REBUT PULPEN YUSRIL
JELANG PENGUNDURAN DIRI
Liputan6.com, Jakarta :
Yusril Ihza Mahendra menjadi saksi Soeharto lengser dari jabatannya sebagai Presiden RI. Saat itu, Yusril-lah yang menyusun teks pengunduran diri Soeharto. Yusril dikenal sebagai penulis teks pidato Presiden Soeharto. Soal menulis teks pidato, Yusril mengaku diajar oleh Profesor Usman Ralibi, seorang pakar komunikasi politik yang mengajar mata kuliah propaganda politik. Seperti ditayangkan Liputan 6 Petang SCTV dan dikutip Liputan6.com, Rabu (27/1/2016), selama bekerja sebagai penulis teks pidato Presiden Soeharto, Yusril sudah menulis sekitar 120 teks pidato, termasuk pidato kepresidenan. Pidato yang paling berkesan di antara semua yang pernah Yusril tulis adalah pidato terakhir Soeharto saat mengundurkan diri dari jabatan Presiden RI.
Yusril pun menceritakan detik-detik jatuhnya Soeharto.
Pada 20 Mei 1998, Yusril menginap di Cendana, kediaman Soeharto karena Soeharto membutuhkannya untuk dimintai pendapat.  Malam itu ketegangan menyelimuti rumah di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Soeharto gelisah pada malam menjelang kejatuhannya. "Ya sudah, kalau begitu saya mundur saja besok. Kamu urus bagaimana cara saya berhenti," kata Yusril menirukan ucapan Soeharto kepadanya ketika itu.
Yusril dan rekan-rekannya pun rapat malam itu juga untuk membuat skenario pengunduran diri. Yusril sendiri yang menulis naskah pidato pengunduran diri Soeharto. Soeharto memilih kata 'berhenti' ketimbang 'mengundurkan diri'. Jika Soeharto menyampaikan 'mundur' sebagai presiden kepada MPR, lalu MPR menolak pengunduran dirinya, situasi akan jadi rumit. "Kondisi selanjutnya tak terprediksi," ujar Yusril.
Maka demi keamanan, termasuk dari sisi hukum, Soeharto menyatakan secara sepihak 'berhenti' dari jabatan sebagai Presiden RI. Namun Soeharto merasa ada yang kurang dengan teks pidato yang disusun Yusril dan lainnya. Saat berangkat ke Istana dari Cendana keesokan harinya pada 21 Mei 1998, Soeharto meminta Yusril menambahkan kalimat di naskah pidatonya dengan 'kabinet dinyatakan demisioner'. Artinya, kabinet tak lagi punya kekuasaan, tapi tetap bekerja sampai terbentuknya kabinet baru di bawah presiden yang baru. Namun permintaan Soeharto itu tak ditanggapi Yusril. Yusril ragu. Sebab menurut Yusril, BJ Habibie yang saat itu menjabat sebagai wakil presiden bisa menggantikan Soeharto meneruskan memimpin kabinet. Tapi Soeharto berkeras. "Kalau tak mau tulis 'demisioner', sini saya sendiri yang tulis," kata Yusril mengulang ucapan Soeharto kala itu. Soeharto kemudian merebut pulpen dari tangan Yusril dan menulis tambahan kalimat di naskah pidatonya, baru bergegas pergi ke Istana.

KISAH YUSRIL DI CENDANA, TULIS PIDATO
PENGUNDURAN DIRI SOEHARTO
Liputan6.com, Jakarta :
Setelah memerintah selama 32 tahun, Soeharto akhirnya menyatakan mundur dari jabatannya sebagai presiden RI. Kejadian itu berlangsung pada 21 Mei 1998. Di balik pengunduran diri itu, tersimpan kisah menegangkan antara Yusril Ihza Mahendra dengan Soeharto. Yusril menjadi saksi lengsernya Soeharto karena dirinya yang menyusun teks pengunduran diri sang presiden.
Soal menulis teks pidato, Yusril mengaku diajarkan Profesor Usman Ralibi, seorang pakar komunikasi politik yang mengajar mata kuliah propaganda politik.
Dikutip dari Liputan 6 Petang SCTV, Sabtu (21/5/2016), Yusril pun menceritakan detik-detik jatuhnya Soeharto. Pada 20 Mei 1998, Yusril menginap di Cendana, kediaman Soeharto karena Bapak Pembangunan itu membutuhkan pendapatnya.
Malam itu ketegangan menyelimuti rumah di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Soeharto gelisah pada malam menjelang kejatuhannya.
"Ya sudah, kalau begitu saya mundur saja besok. Kamu urus bagaimana cara saya berhenti," kata Yusril menirukan ucapan Soeharto kepadanya ketika itu. Yusril dan rekan-rekannya pun menggelar rapat malam itu juga untuk membuat skenario pengunduran diri Soeharto. Yusril sendiri yang menulis naskah pidato pengunduran diri Soeharto.
Soeharto memilih kata "berhenti" ketimbang "mengundurkan diri". Jika Soeharto menyampaikan "mundur" sebagai presiden kepada MPR, lalu MPR menolak pengunduran dirinya, situasi akan jadi rumit.
"Kondisi selanjutnya tak terprediksi," ujar Yusril
dikutip dari Liputan6.com,
oleh ro5m4d1